Presiden Turki Tayyip Erdogan menyebut Presiden Prancis, Emmanuel Macron adalah orang yang membutuhkan perawatan mental. Pernyataan ini disebut dalam pidatonya karena sikap Macron terhadap Muslim dan Islam.
“Apa masalah orang bernama Macron ini dengan Muslim dan Islam? Macron membutuhkan perawatan pada tingkat mental,” kata Erdogan dalam pidatonya di kongres provinsi Partai AK di kota Kayseri, Turki tengah dilansir dari Reuters, Sabtu (24/10). [Republika,25/10].
Pernyataan keras Erdogan ini berbuntut penarikan Dubes Prancis dari Ankara. Tak hanya Erdogan yang gerah dengan sikap Prancis. Banyak negara Islam yang memprotes dengan menyerukan boikot produk-produk Prancis. Seruan ini keruan membuat Prancis kalang kabut.
Pemerintahan Macron ini sungguh keterlaluan melukai hati umat Islam. Setelah sebelumnya menutup sebuah masjid di pinggiran kota Paris dan membubarkan beberapa asosiasi yang dituduh terkait dengan Islam. Berikutnya, sekolah swasta Islam yang menjadi sasaran penutupan, karena sekolah-sekolah ini mengizinkan siswinya berhijab.
Tak hanya Macron, para pejabatnya pun ikut bersemangat menyiram bensin di atas bara. Seperti Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire yang menuduh beberapa wali kota menyerah pada politik Islam.
Hal ini disebabkan karena beberapa walikota mengizinkan adanya jam khusus untuk wanita di kolam renang setempat. Serta mengakomodir toko-toko yang menjual produk makanan halal.
“Proyek politik Islam itu sederhana, menghancurkan bangsa Prancis, menghancurkan nilai-nilainya, menodai ingatan nasional kita dan merusak sejarah kita,” kata Le Maire.
Merusak sejarah?
Barangkali Le Maire harus membuka kembali lembar buku sejarah bangsa mereka. Ia mungkin lupa, di abad ke-11, leluhurnya yang bernama Odo dari wilayah Chatillon yang kemudian ditabalkan sebagai Paus Urban II yang memprovokasi rakyatnya hingga terjadilah perang besar yang “abadi”.
Ia yang mengobarkan Perang Salib dalam khutbahnya 27 November 1095 di Clermont. Ia mengatakan, Muslim di Palestina memerkosa perempuan Kristen, melakukan pembunuhan, mutilasi, dan penyiksaan. Ia menyerukan siapa saja yang mau bergabung dalam pasukan perang itu akan mendapat penebusan dosa.
Sejarah mencatat apa yang terjadi sesungguhnya. Pasukan itulah yang membantai kaum Muslimin hingga darah menggenang di Baitul Maqdis. Delapan puluh delapan tahun lamanya kiblat pertama umat Islam itu mereka nista.
Hingga datanglah Sang Pembebas Baitul Maqdis, Shalahuddin Al Ayyubi. Dalam pertempuran yang luar biasa dahsyat di lembah Hittin, penguasa Yarusahlaim yang berasal dari Prancis saat itu Guy de Lusignan berhasil ditangkap.
Kemuliaan hati Shalahuddin membuat musuhnya itu tak dibunuh. Saat tertangkap dan dibawa ke tendanya, Guy de Lusignan diberi makan dan minum yang layak. Ia lalu dibawa ke Damaskus dan dibebaskan.
Untuk menandai peristiwa itu, ada sebuah patung besar di Damaskus yang menggambarkan Shalahuddin di atas kudanya dengan gagah, sementara Guy de Lusignan duduk di bagian bawah dengan tangan terikat seperti layaknya tawanan perang.
Pesan itu yang mungkin belum pernah didengar Macron dan para pejabatnya: Bahkan tawanan perang pun dimuliakan dalam Islam.
Kalau Guy de Lusignan bisa berseru dari kuburnya, barangkali ia akan berkata, “Honte à toi, Macron! –memalukan kamu, Macron!”
Oleh Uttiek
Follow on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang