Hari Ini Kita Minum Kopi Usmani, Bukan yang Lain

share on:

Revolusi kopi itu dimulai pasca Futuhat Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih. Ditemukan oleh Khalid yang kemudian masyhur dengan sebutan Kaldi, seorang ahlur ribath di kampung Gisya yang merupakan bagian dari wilayah Kaffa, Ethiopia revolusi kopi menemukan momentumnya pasca kemenangan Sultan Al-Fatih lebih dari 600 tahun kemudian.

Sebelumnya perlu waktu sangat lama untuk dapat menikmati hanya secangkir kopi, tetapi di masa Al-Fatih terjadi lompatan cara menyajikan kopi, yakni dimulainya penyangraian kopi dan penggilingannya menjadi bubuk kopi (ground coffee), serta penyeduhannya yang jauh lebih praktis dengan menggunakan ibriq (إبريق).

Menurut Robert Forsyth, President of the Australian Coffee Speciality Association, pada awalnya perlu waktu sekitar 5 jam untuk dapat menyajikan kopi yang siap dinikmati dengan melibatkan rembesan penggilingan. Saya sulit membayangkan proses pembuatannya, tetapi cara ini jelas sangat pelik. Turki Usmani melakukan gebrakan revolusioner dalam menyeduh kopi dengan memperkenalkan ibrik. Proses membuat kopi pun hanya perlu waktu beberapa menit.

Berasal dari kata برق, ibriq (إبريق) pada pokoknya adalah segala yang menghantar panas atau menyimpan panas, bisa berupa teko maupun panci kecil untuk menjerang air.

Dalam perkembangannya, orang lebih mengenal ibriq alias ibrik atau diserap dalam bahasa Yunani menjadi briki sebagai panci kecil bertangkai khas Turki. Tetapi sebenarnya istilah ibriq meliputi pula teko.

Ada dua metode utama seduh kopi menggunakan ibriq, yakni dituangkan ke dalam kopi bubuk yang sudah digiling dan ini merupakan metode paling awal, atau kopi bersama air dingin direbus dengan api kecil hingga mendidih. Saat krema muncul, segera diambil untuk dimasukkan ke dalam cangkir, sementara kopi terus dipanaskan.

Sekarang kita mengenal brewing method ini menggunakan pasir sebagai medium penghantar panas ke ibriq. Metode ini diserap oleh budaya kita dengan nama kopi kothok (Bojonegoro) atau nama lain. Sementara metode paling awal masih tampak jejak namanya, yakni kopi tubruq.

Ada satu lagi yang harus kita dan sebenarnya inilah yang paling fundamental, yakni pengembangan kopi yang berorientasi pada faedah. Bukan untuk bernikmat-nikmat. Dari sini lahirlah kopi Usmani (Osmanlı Kahvesi) yang menggunakan tujuh atau sembilan rempah penuh manfaat.

Kelak 2,5 abad kemudian, ketika pasukan Austria menemukan kopi pasukan Usmani yang tertinggal di Wina, mereka mencoba membuatnya, tetapi tak tersedia bahan rempah yang diperlukan. Mereka akhirnya mencampur kopi dengan susu sehingga menghasilkan warna mirip topi para kapuzin, yakni biarawan ordo Fransiskan.

Kopi ini pun disebut kapuziner yang dalam perkembangannya dideskripsikan sebagai kopi dengan krim dan gula. Ini pada tahun 1805. Lalu tahun 1850, kapuziner ditambah lagi dengan bubuk cinnamon (kayu manis) sebelum akhirnya di awal tahun 1900-an dipopulerkan oleh Italia sebagai Cappuccino.

Hari ini, 29 Mei, 567 tahun lalu Muhammad Al-Fatih meraih kemenangan itu. Sembari mengingat kembali sejarah dan terutama ruh perjuangannya, hari ini kita menyeduh kopi Usmani. Kalau rempahnya tak lengkap, cukuplah dengan rempah yang ada sembari mereguk semangat di baliknya. Bahwa meminum kopi bukanlah soal bernikmat-nikmat, tetapi soal memberi asupan yang baik dan membawa maslahat.

Penulis: Ust Fauzil Adhim

Leave a Response