Akhlaq Mulia Sultan Muhammad Al-Fatih terhadap Umat Kristen yang Dikalahkan
- calendar_month Sab, 27 Jun 2020
- visibility 400
Setelah menguasai Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih beranjak menuju Gereja Aya Sophia. Di dalamnya telah berkumpul penduduk Konstantinopel bersama para pendeta yang membacakan doa-doa untuk mereka. Ketika Sultan mendekati pintu gereja, maka orang-orang Kristen yang berada di dalamnya menjadi sangat ketakutan. Salah seorang pendeta berdiri membukakan pintu untuk Sultan.
Sultan Muhammad Al-Fatih meminta agar pendeta itu menenangkan orangorang dan agar mereka kembali pulang ke rumah-rumah mereka dengan aman. Maka, para manusia pun menjadi tenang. Ada beberapa pendeta yang bersembunyi di lobang-lobang di gereja itu. Ketika mereka melihat sikap toleran dari Muhammad Al-Fatih dan sikap maafnya, maka mereka keluar dan mengumumkan keislaman mereka.
Setelah itu, Muhammad Al-Fatih memerintahkan agar Gereja Aya Sophia diubah menjadi masjid dan agar hal itu dipersiapkan dengan baik, supaya pada hari Jumat depan dapat digunakan untuk melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya. Para pekerja melakukan persiapan untuk perintah ini. Mereka menghilangkan salibsalib dan patung-patung, serta menghapus gambar-gambar yang ada di dalamnya dengan satu lapisan kapur (cat). Mereka membuat sebuah mimbar untuk khotbah. Mengubah gereja menjadi masjid itu diperbolehkan. Sebab, negeri itu ditaklukkan melalui cara peperangan, peperangan itu memiliki hukum tersendiri di dalam syariat Islam.
Sultan Muhammad Al-Fatih memberikan kebebasan kepada orang-orang Kristen untuk melaksanakan semua acara ritual keagamaan mereka, serta memiliki pemimpin-pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas untuk melakukan peradilan dalam masalah-masalah sipil di antara mereka. Sultan juga memberikan kebebasan kepada para pembesar gereja di wilayah-wilayah yang lain. Tetapi, pada saat yang sama, Sultan mengharuskan semuanya untuk membayar jizyah.(*1)
Penaklukan pasukan Turki Utsmani terhadap Kota Konstantinopel ada kalanya diilustrasikan dengan penggambaran yang buruk atau bahkan Sultan Muhammad AlFatih digambarkan dengan sifat-sifat yang buruk. Di dalam Ensiklopedia Americana yang terbit pada tahun 1980, misalnya, ditulis bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih memperbudak sebagian besar penduduk Kristen Konstantinopel. Mereka digiring ke pasar-pasar budak di Edirne dan menjual semuanya di sana. (*2)
Fakta sejarah yang sesungguhnya mengatakan, bahwa Sultan Muhammad AlFatih memperlakuan penduduk Konstantinopel dengan perlakuan kasih sayang. Dia memerintahkan kepada para tentaranya untuk memperlakukan para tahanan dengan baik dan berperilaku lembut kepada mereka. Dia menebus banyak tawanan perang dari harta pribadinya, khususnya para pemimpin Yunani dan para pembesar agama. Dia berkumpul dengan para uskup dan menenangkan mereka dari ketakutan. Dia menenangkan mereka agar tidak takut-takut untuk tetap berada di dalam keyakinan mereka dan menjalankan ritual agama mereka, serta tetap berada di rumah-rumah ibadah mereka. Dia memerintahkan mereka untuk menetapkan pemimpin keuskupan yang baru. Mereka pun memilih Agnadius.
Setelah pemilihan itu, Agnadius menemui kepada Sultan dalam iring-iringan yang besar. Sultan Muhammad Al-Fatih menyambutnya dengan penghormatan yang tinggi dan memuliakannya dengan sangat baik. Dia makan bersama dengannya dan berbicara dengannya dalam berbagai hal, baik di bidang agama, politik, dan sosial.
Uskup tersebut keluar dari pertemuannya dengan Sutan, sedangkan pemikirannya telah berubah sama sekali terhadap para sultan Daulah Utsmaniyah dan orang-orang Turki, bahkan terhadap kaum muslimin pada umumnya. Dia merasakan bahwa dia berada di hadapan seorang sultan yang luas wawasannya, yang memiliki suatu misi, akidah keagamaan yang kuat, kemanusiaan yang tinggi, dan keperwiraan yang sempuna.
Kekaguman ini juga turut dirasakan oleh orang-orang Romawi. Padahal, sebelumnya mereka memikirkan bahwa pembunuhan masal pasti akan mereka alami. Hanya dalam hitungan hari, penduduk Konstantinopel sudah bisa memulai kehidupan mereka sehari-hari sebagaimana biasa dalam kondisi tenang dan damai.(*3)
Orang-orang Turki Utsmani sangat bersemangat untuk konsisten terhadap prinsip-prinsip Islam. Oleh sebab itu, keadilan di antara para manusia adalah urusan yang paling penting yang sangat ingin mereka tegakkan. Perlakuan mereka terhadap orang-orang Kristen itu bersih dari segala bentuk kefanatikan dan kezaliman. Tidak pernah terlintas dalam benak orang-orang Turki Utsmani untuk menekan orangorang Kristen karena agama mereka.(*4)
Aliran-aliran Kristen di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah telah mendapatkan seluruh hak-hak keagamaannya. Masing-masing aliran memiliki pemimpin agamanya yang tidak berbicara dengan selain keputusan Sultan secara langsung. Setiap aliran ini memiliki sekolahan-sekolahan dan tempat-tempat ibadah yang khusus, sebagaimana tidak diperbolehkan siapa pun juga untuk mencampuri urusan hartanya. Mereka diberi kebebasan untuk berbicara dengan bahasa apa pun yang mereka inginkan.
Sultan Muhammad Al-Fatih menampakkan sikap toleransi yang tinggi terhadap orang-orang Kristen Konstantinopel atas dasar adanya dorongan untuk konsisten terhadap ajaran Islam yang agung dan meneladani perilaku Rasulullah. Juga, mencontoh para Khulafa Rasyidin setelahnya, yang lembaran-lembaran sejarahnya penuh dengan sikap-sikap toleransi yang tinggi.
Source:
Lapsus Syamina: Kehidupan Yahudi dan Nasrani di Bawah Naungan Khilafah Turki Utsmani
Footnote:
*1 Lihat: Crowley, Roger. 2015. 1453 Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim.
*2 Lihat: Freely, John. 2012. Istanbul Kota Kekaisaran. Terj. Fahmy Yamani. Jakarta: Pustaka Alvabet.
*3 Lihat: Freely, John. 2012. Sultan Mehmet II Sang Penakluk. Terj. Fahmy Yamani. Jakarta: Pustaka Alvabet.
*4 Lihat: Jawanib Mudhiah fi Tarikh Al-‘Utsmaniyyin Al-Atrak, hlm. 274, dikutip oleh Ash-Shallabi dalam “Sejarah
Daulah Utsmaniyah”
- Penulis: admin
Saat ini belum ada komentar