Pahitnya Kopi dan Kolonialisme di Indonesia (2)

share on:

Kopi di Nusantara

V.O.C. kemudian berupaya menanam sendiri kopi di wilayah jajahan mereka. Pertama kali mereka mencoba menanam di daerah Gunung Sahari, Batavia. Pada tahun 1696, Gubernur Jenderal Joan van Hoorn menerima biji kopi dari mertuanya yang bertugas di Malabar, India. Saat ditanam di kebun milik van Hoorn di sekitar Batavia dan Cirebon ternyata kopi yang dihasilkan sangat baik. (Lasmiyati: 2015)

Di Nusantara sebenarnya kopi telah dikenal umat Islam sebelum dibawa oleh Belanda. Umat Islam yang menunaikan ibadah haji membawa kopi kembali ke tanah air. Hanya saja, kopi belum menjadi primadona saat itu. Nafsu keuntungan finansial Belanda-lah yang menjadikannya komoditas penting di tanah air.

Hal ini kemudian membuat mereka memutuskan menanam kopi di daerah tatar Sunda. Biji kopi yang berkualitas banyak di tanam di daerah Cirebon dan terutama di dataran tinggi priangan (yang terbentang dari sebelah barat Cianjur sampai ke Timur Ciamis). (Lasmiyati: 2015) Hal ini membuka babak baru kisah pahitnya kopi dan kolonialisme di tanah air.

Segera setelah merasakan bagusnya hasil kopi di Jawa, Belanda segera memberlakukan kebijakan yang memaksa untuk menanam kopi. Para petani dipaksa menanam kopi dan hasilnya harus dijual kepada V.O.C. dengan harga yang sangat rendah. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan V.O.C.

Sebagai perbandingan, pada tahun 1721, sekitar 90% kopi yang didagangkan di Amsterdam berasal dari Mocha, Yaman. Namun lima tahun kemudian, Jawa telah menjadi produsen utama kopi bagi Belanda. Sebanyak 90% berasal kopi yang didagangkan V.O.C. berasal dari Jawa. Begitu terkenalnya kopi dari Jawa sehingga ‘Jawa’ menjadi istilah pengganti kata kopi. (Steven Topik: 2004) “A Cup of Java.” Begitu istilah yang dikenal saat itu.

Kolonialisme memaksa penanaman kopi diberlakukan di daerah jajahan.

Menurut Jan Breman dalam Mobilizing Labour for the Global Coffee Market , V.O.C. menangguk untung luar biasa dari produksi kopi di Jawa. Pada tahun 1730, Amsterdam memperdagangkan kopi dari tiga benua, Jawa, Reunion dan Yaman.

Para petani di Priangan begitu menderita. Mereka bukan saja dipaksa menanam kopi, tetapi juga mengantar hasil panennya ke gudang-gudang V.O.C. dan menerima berapa pun harga yang ditentukan oleh V.O.C. Seorang pemilk kebun kopi swasta mengatakan bahwa ketika panen, semua orang dikerahkan untuk memetik panen kopi. Perempuan, anak-anak bahkan orang lanjut usia dikerahkan untuk memetik hasil panen.

V.O.C. menganggap diri mereka bukan saja penguasa, tetapi juga pemilik dari lahan dan orang-orangnya. Hal ini membelenggu para petani. Mereka jadi terkurung di wilayah-wilayah lahan kopi tanpa bisa hidup berpindah-pindah. (Jan Breman : 2002)

Van Imhoff dalam laporan perjalanannya di Priangan pada tahun 1744 mengatakan bahwa tanaman kopi menjadikan para petani enggan menanam kopi. Mereka hanya mau menanam kopi jika memiliki lahan yang cukup. Para petani kehilangan lahan sawah untuk makan mereka, karena lahan-lahan telah ditanami kopi. (Jan Breman : 2002)

Laporan van Imhoff menggambarkan betapa malang nasib para petani ini. Mereka bukan saja dipaksa menanam kopi dan menjual dengan harga kelewat murah pada VOC, tetapi mereka juga dipaksa untuk membangu jalan,membangun gedung dan kerja paksa lainnya atas perintah V.O.C. Dampaknya, banyak petani yang memilih pergi dari Priangan dan menetap di Banten, karena beban di sana tidak berat. (Jan Breman : 2002)

Proses penjemuran biji kopi di wilayah Priangan pada masa penjajahan Belanda.

Hal ini terus terjadi hingga awal abad ke 19. Pada 1808, Lawick melaporkan bahwa penduduk di Tjidamar, Sukapura, meninggalkan kampung mereka setelah mendengar rencana penanaman (paksa) kopi di kampung mereka. Tahun berikutnya, di Cirebon, beberapa petani pindah sementara ke wilayah lain (numpang) untuk menghindari penanaman paksa kopi di kampung mereka. (Jan Breman : 2002)

Bubarnya V.O.C. pada 1799 karena kebangkrutan yang disebabkan korupsi nyatanya tak membuat nasib petani kopi membaik. Pada tahun 1800 pemerintah kolonial Hindia Belanda memerintahkan setiap keluarga agar menanam 250 pohon kopi. Angka ini bahkan dinaikkan menjadi 500 pohon kopi pada 1802. (Lasmiyati: 2015)

Ketika menjadi Gubernur Hindia Belanda, Daendels memerintahkan agar setiap hasil panen langsung diserahkan kepada Bupati. Di Priangan, Daendels menghilangkan sistem bagi hasil pada para bupati. Ia menggantinya dengan sistem persentase pada bupati dan bawahannya. Berkat peran bupati hasil produksi kopi meningkat tajam. Pada 1810, panen kopi menghasilkan 120 ribu pikul. Jelas bahwa keringat para petani kini diperas habis oleh para bupati. (Lasmiyati: 2015)

Buruknya jalan-jalan yang ada di Tanah Air membuat Daendels, “si Bapak Infrastruktur” memperbaiki jalan-jalan dan jembatan yang ada. Daendels menjanjikan bayaran bagi rakyat yang bekerja membangun infrastruktur. Namun ia ingkar janji. Minimnya kas pemerintah kolonial membuat rakyat melakukan kerja paksa, dengan beban yang sangat berat dan melelahkan. Akibatnya banyak penduduk yang mati dan melarikan diri. [(Lasmiyati: 2015)

Pada seperempat pertama di abad 19, Jawa diguncang Perlawanan Pangeran Diponegoro. Perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro membuat kas pemerintah kolonial Belanda terkuras habis. Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch punya resep jitu mengisi kembali kas pemerintah kolonial. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) diberlakukan pada tahun 1830.

Jalan Raya Pos atas intruksi Herman Daendels membuat rakyat sengsara dan memicu Perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro.

Rakyat dibebani kewajiban untuk menanam komoditi seperti gula, tembakau dan kopi.(M.R. Fernando: 2003) Van den Bosch sendiri menginstruksikan penanaman 40 juta pohon kopi per tahun. Penanamannya dibagi ke dalam daerah perbukitan di Jawa Barat, Tengah dan Timur. (Lasmiyati: 2015)

Tanaman ini wajib ditanam di dataran tinggi 1000-1500 meter di atas permukaan laut. Lahan tersebut bukan hanya jauh dari tempat tinggal para petani, tetapi mereka juga harus membabat hutan dahulu. Medan yang sulit, gangguan cuaca hingga ancaman binatang buas menyengsarakan para petani yang dipaksa membabat hutan. (Lasmiyati: 2015)

Kesengsaraan para petani tidak berhenti dipembukaan lahan saja. Ketika menanam kopi mereka harus jauh dari lahan sawah yang mereka garap. Tidak menggarap sawah berarti kehilangan pemasukan bagi mereka. Hal ini memaksa mereka tinggal di kebun kopi dan kehilangan pemasukan untuk keluarganya.

Sistem Tanam Paksa ini memberi imbas yang luar biasa. Biaya murah yang diperoleh pemerintah kolonial untuk memperoleh kopi, membuat mereka mendapatkan untung yang tinggi. Pada tahun 1856, ada 70 juta pohon kopi yang berbuah. Sementara para petani semakin diperas tenaganya.

Otto van Rees pada 1866 – 1867 di Priangan memberi informasi yang berharga. Menurutnya penanaman dan penyetoran kopi didasarkan kerja paksa. Penghasilan petani yang terpaksa tinggal dikebun membuat penghasilan mereka tidak menentu dan kadang tidak mendapatkan upah. (Lasmiyati: 2015)

Pada akhir abad ke 19 mulai terdengar kritik terhadap sistem tanam paksa. Pada tahun 1880 produksi kopi mulai goyah. Hal ini disebabkan menyebarnya ‘wabah’ hemiliea vastatrix pada tanaman kopi. Bercak oranye pada daun tanaman kopi ini menandai memudarnya produksi kopi hindia belanda. Pada 1917 tanam paksa kopi ini dihapuskan.

Menurut Jan Breman, “kewajiban di pihak kaum tani untuk menyerahkan jasa tenaga kerjanya terus melanjut sampai sesudah tanam paksa tanaman ekspor dihapus. Kerja rodi demikian diperlukan baik untuk memperbesar surplus dengan perluasan infrastruktur – pemukiman dan pengolahan tanah, serta pembangunan jaringan lalu lintas dan irigasi – dan untuk membiayai anggara aparatur pemerintah yang diperlukan untuk meneruskan dan menggalakkan eksploitasi kolonial.” (Jan Breman: 1986)

Penghapusan tanam paksa kopi ini tidak menghapus fakta bahwa kehidupan petani di Jawa menjadi hancur. Perusahaan multinasional semacam V.O.C. ataupun pemerintah kolonial Belanda menangguk untung yang sangat besar dari kebijakan yang menindas di balik tanaman kopi. Harga kopi yang murah dan dengan pemaksaan membuat mereka dapat untung yang luar biasa ketika biji kopi tersebut dijual ke pasar dunia.

Indonesia masuk 5 besar negara pengekspor kopi dunia.

Di masa kini, berdasarkan data tahun 2016 yang dilansir Der Spiegel (2017), Indonesia adalah eksportir yang memproduksi 8% kopi di dunia. Di bawah Brazil (33%), Vietnam (19%) dan Kolombia (10%). Brazil menjual biji kopi yang dipetik seharga 2,7 dollar AS/Kg. Jerman adalah salah satu pembelinya. Jerman kemudian menjual kopi yang telah melalui proses roasting seharga 6,21 dollar/kg.

Pada tahun 2013, Jerman adalah eksportir roasted coffee terbesar di dunia. Disusul Italia, Amerika Serikat, dan kemudian Swiss. Negara-negara ini menangguk keuntungan besar dengan mengambil kopi murah di negara-negara produsen kemudian mengolahnya dan menjualnya kembali dengan keuntungan berlipat.

Ada pola sama yang berulang. Negeri eksportir kopi mengandalkan tenaga kerja yang murah dan hanya mampu menjual barang mentah. Sementara keuntungan berlipat diperoleh negeri yang mampu mengolahnya.

Di Indonesia, persoalan seperti ini harusnya mendapatkan perhatian. Mampukah kopi meningkatkan taraf hidup petaninya? Dan mampukah Indonesia mengekspor lebih dari sekedar barang mentah sehingga kisahnya tak hanya sekedar mengulang kisah pahit dan hitam masa kolonial? Di balik secangkir kopi hitam yang tersaji di meja kita, tersimpan kisah pahit kolonialisme dan pertanyaan tadi.

Ditulis oleh: Beggy Rizkiansyah, kolumnis Kiblat.net, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) || pernah dimuat di kiblat.net dengan judul yang sama.

Leave a Response