Anak Indonesia di Sekolah İstanbul 1898
- calendar_month Kam, 20 Agu 2020
- visibility 262
Anak Indonesia di Sekolah İstanbul, 1898, serta Hubungannya dengan Kekuatan Politik serta Kemandirian Ekonomi Ummat Islam di Indonesia Sekarang!
Foto kedua anak asal Jawa yang bersekolah di İstanbul pada akhir abad ke-19 menunjukkan bahwa mereka berasal dari Hindia Belanda, ketika itu Indonesia masih dijajah Belanda.
Keberadaan mereka bisa jadi bagian dari kebijakan pemberian beasiswa kepada siswa pribumi dan keturunan Arab di Hindia Belanda. Kebijakan tersebut diinisiasi oleh Kamil Bey, seorang Konsul-Jenderal bagi Kekhilafahan Turki Utsmani yang berkedudukan di Batavia, 1898. Hal ini ditujukan agar kaum muslimin di Hindia Belanda memiliki keterhubungan dengan kekhilafahan Turki Utsmani serta berbagai kepentingannya pada akhir abad ke-19.
Sedangkan foto di sebelahnya adalah tokoh Gerakan Pan-Islam (Ukhuwwah Islamiyah ‘Alamiyah) yang bernama Abdullah ibn Alwi Alatas. Beliau, selain merelakan rumahnya (sekarang Musium Tekstil) disewa murah sebagai Rumah Konsulat Jenderal Kekhilafahan Turki Utsmani di Batavia, juga mengirimkan empat putranya ke sekolah tinggi di İstanbul. Beliau wafat pada tahun 1928, empat tahun setelah kekhilafahan dibubarkan oleh Mustafa Kemal.
Berdirinya Konsulat Jenderal Kekhilafahan Turki Utsmani di Straits Settlements (Temasek, Singapur) pada tahun 1864 yang dipimpin oleh Syed Abdullah al-Junayd (tokoh Hadhrami) telah menjadi perhatian agen pemerintah Hindia Belanda. Secara jarak Singapur sangat dekat ke Aceh yang belum juga berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Belanda. Pada 17 Februari 1882 akhirnya diangkat Konsul Kehormatan Kekhilafahan Turki Utsmani di Batavia yang dipimpin oleh Syed Aziz Efendi.
Baru pada 21 April 1883 di Batavia terdapat seorang Konsul-Jenderal Kekhilafahan Turki Utsmani yang dipimpin oleh orang Turki, Galip Bey. Beliau adalah pejabat Turki pertama dari Dinas Penterjemahan pada Kementerian Luar Negeri Turki. Aktivitas pro Pan-Islam telah menjadi perhatian khusus Snouck Hurgronje yang kedoknya sebagai Abdul Ghaffar terbongkar setelah delapan bulan mengaku muslim serta berdiam di Makkah sejak 1885. Snouck mempelajari pola keberagamaan para hajji, kyai, ulama, serta santri asal Hindia Belanda selama di tanah suci. Dengan pengamatannya tersebut di kemudian hari ia berhasil merekomendasikan berbagai kebijakan untuk menghambat laju persatuan serta keinginan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Snouck Hurgronje sebagai pejabat pada Adviseur Inlandsche en Arabische Zaken merekomendasikan kebijakan anti Pan-Islam, Turki, dan Arab. Salah satu argumentasi dalam suratnya kepada Gubernur-Jenderal Hindia Beladan adalah:
“(keberadaan konsulat jenderal Turki Utsmani) menimbulkan kesan pada orang Islam di bawah pemerintah Eropa bahwa mereka masih mempunyai pelindung kepentingan (politik dan ekonomi) mereka yang lain daripada orang yang memerintah (Belanda) mereka.”
Pantas dan bisa dilihat pola hubungannya jika sekarang ada pihak yang selalu mengangkat opini” jangan bawa-bawa Islam dan agama dalam politik,” bahkan tidak boleh pula Islam dibawa dalam kegiatan ekonomi. Padahal, sudah saatnya Ummat Islam memiliki kesatuan kekuatan politik dan kemandirian ekonomi.
Agung Waspodo, menemukan banyak catatan sejarah diantara buku-buku yang belum semuanya terbaca.
Daftar Referensi:
– Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, Oxford University Press, Kuala Lumpur: 1978, pp. 26-28.
– Frial Supratman, Rafet Bey the Last Ottoman Consul in Batavia, Studia Islamica, Vol. 24, 2017: 1 November.
– Hamid Algadri, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, CV Haji Masagung, Jakarta: 1988, pp.98-101.
- Penulis: admin
Saat ini belum ada komentar