Kopi Tapi Syirik
- calendar_month Sab, 26 Sep 2020
- visibility 240
Disebut Arabica karena memang pada mulanya ditemukan, berkembang dan dikonsumsi oleh orang-orang di Jazirah Arab. Adapun asal-usul kata qahwah (قهوة) darinya berubah menjadi kahve, kaffee, koffie, coffee dan akhirnya sampai Indonesia menjadi kopi, ada berbagai pendapat dengan sejumlah argumentasinya. Sebagian menyebut berasal dari kata kaffa (كافا), nama tempat di Habasyah (Ethiopia) dimana untuk pertama kalinya Khalid yang kelak populer dipanggil Kaldi mengkonsumsi kopi untuk menguatkannya melakukan ribath.
Sebagian lagi berpendapat bahwa qahwah berasal dari kata qawiy yang berarti kuat. Sedangkan yang lainnya, semisal Ibnu Sina, mengatakan bahwa qahwah berasal dari kata qahaa. Kata “aqha” berarti meninggalkan makanan meskipun sangat berselera. Sedangkan kata qahaa al-rajulu berarti seseorang yang (sedang) tidak berselera makan. Ini karena seseorang yang meminum kopi, lebih kuat untuk tidak makan.
.
Di Indonesia, sebutan untuk kopi secara umum terbagi menjadi dua. Pada awalnya, masyarakat Indonesia mengenal kopi dengan istilah qahwah atau kawa, menandakan pengaruh langsung dari kawasan Timur Tengah penutur bahasa Arab yang lebih dulu mengenalkan budaya kopi dan meminum kopi, jauh sebelum Belanda datang menjajah. Kata kawa kita jumpai semisal di Sumatera Barat yang sekarang masih dipakai untuk minuman yang berasal dari daun kopi alias kopi daun (Kawa Daun).
Minuman kaya mangiferin ini berkembang akibat penjajahan Belanda ketika orang-orang Bukittinggi, termasuk Payakumbuh sekarang, tak lagi dapat menikmati seduhan dari biji kopi yang disangrai sebagaimana masa sebelum Belanda datang. Begitu pula orang-orang tua atau penutur tradisional di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, juga menyebut kopi sebagai qahwah atau kahwah. Ini menandakan bahwa pada mulanya mereka mengenal kopi bukan dari Belanda.
Ada perbedaan pendapat mengenai asal-usul kata kopi. Tetapi yang lebih seru adalah perdebatan yang terjadi mengenai hukum meminum kopi.
Perdebatan sengit muncul di awal abad 16 saat Dinasti Mamluk berkuasa. Ketika itu Kheir Beik yang ditugaskan sebagai pejabat hisbah di Makkah, melihat kebiasaan meminum kopi di kalangan komunitas sufi yang bahkan berlebihan. Ini adalah kali pertama Kheir Beik menyaksikan orang meminum kopi. Maka ia pun mengumpulkan para ulama Hijaz untuk mengkaji hukum meminum kopi. Sangat pelik perdebatan yang terjadi sampai-sampai Syaikh Nuruddien, ulama mazhab Syafi’i yang menghalalkan kopi, dianggap telah kafir oleh sebagian ulama lain. Begitu Muhammad Al-Arnauth menulis dalam من التاريخ الثقافي للقهوة والمقاهي (Sejarah Budaya Kopi dan Kedai Kopi).
Jadi, meskipun kopi sudah bagian dari budaya Islam yang berkembang di sejumlah kawasan di Timur Tengah, tetapi tidak serta-merta semua wilayah Islam menerimanya. Perlu waktu beberapa abad untuk dapat diterima di seluruh kawasan mengenai kehalalan meminum kopi dan membudidayakannya.
Tetapi yang perlu kita catat adalah, penggerak awal berkembangnya budaya meminum kopi adalah untuk menegakkan ketaatan kepada Allah Ta'ala.
Begitu pula penyebab utama yang menjadikan sebagian ulama mengharamkan adalah kekhawatiran kalau-kalau kopi menjauhkan orang dari taat, merusak fisik dan akal budi sebagaimana khamr. Di antara yang mendorong Kheir Beik sebagai pejabat Hisbah di Makkah untuk mengumpulkan para ulama Hijaz adalah, Kheir Beik mendapati ada beberapa kelompok orang meminum kopi sembari menunjukkan perilaku melampaui batas yang dikhawatirkan menjatuhkan kepada maksiat maupun syubhat.
Perihal syubhat iman, budaya meminum kopi Turki terkena imbasnya, berkembang terutama pasca runtuhnya Khilafah Turki Usmani. Syubhat yang berasal dari negeri tetangga bernama Yunani itu adalah ritual syirik meramal nasib atau “sial – beruntungnya” seseorang dari yang ditimbulkan oleh kopi setelah ditumpahkan dengan cara tertentu. Tentu saja ini hanya dapat dilakukan manakala kopi diseduh dengan metode tubruk (true brew) serta memakai ibrik yang menyertakan ampasnya. Dalam keadaan seperti ini, ngopi menjadi haram. Bukan karena zatnya, tetapi karena ngopi menjadi sarana berbuat syirik. Padahal syirik merupakan dosa besar yang tidak diampuni, kecuali jika seseorang sudah bertaubat sepenuhnya sebelum meninggal dunia.
Ada kopi yang secara diproduksi untuk meramal keberuntungan ini sehingga harganya lebih mahal. Meskipun dari segi zatnya tidak ada masalah, tetap halal untuk diseduh sebagai minuman, namun sepatutnya kita lebih memilih kopi lain agar tidak menjadi sebab fitnah syubhat. Adapun jika ada yang memberikan hadiah kepada kita kopi seperti itu, kita tetap dapat menyeduhnya untuk diri sendiri atau untuk sahabat-sahabat kita yang memahami buruknya syubhat seraya menahan diri untuk tidak menyebarkan kopi tersebut.
Jadi, kopi tersebut kita konsumsi untuk menghindari tabdzir (tindakan memubadzirkan minuman atau makanan), dan menahan diri dari menampakkan kepada orang lain untuk menghindari terbukanya pintu syubhat. Semoga dengan ini, langkah kita diridhai Allah Ta’ala sekaligus menjadi sebab barakah.
Rupanya, pada secangkir kopi pun urusannya bisa sampai kepada aqidah. Bukan berhenti pada soal fiqh.
Penulis Ust Fauzil Adhim
- Penulis: admin
Saat ini belum ada komentar