Jika sempat bertandang ke Turki pada bulan April, maka kita akan disambut meriah oleh warna-warni indah bunga tulip yang bermekaran. Tak kurang dari 211 varietas bunga tumbuh di berbagai lokasi seperti Emirgan Park, Soganli Bitkiler Park, Yildiz Park, Goztepe Park, Sultan Ahmed Square, dan Gulhane Park. Bunga-bunga itu seakan hadir memberikan warna pada kanvas sejarah peradaban Turki.
Bayangkan, bagaimana halaman istana Topkapi yang luas dengan pepohonan rindang dan bunga warna-warni menghampar di hampir setiap sudut. Atau Hagia Sophia dengan permadani bunga tulip yang terkonfigurasi secara indah di halamannya. Bangunan-bangunan kuno yang terkesan monochrome itu akan terlihat jauh lebih epik dan mengagumkan.
Tulip ternyata sangat lekat dengan sejarah Turki. Bukan hanya dengan Belanda seperti yang sudah jamak diketahui. Bunga yang masuk dalam keluarga liliaceae ini berasal dari Asia Tengah. Tumbuh dengan liar di kawasan pegunungan Pamir dan Hindu Kush, juga banyak dijumpai di stepa-stepa Negara Kazakhstan. Tulip atau di Turki sering disebut turban sudah dibudidayakan oleh masyarakat Utsmani lebih dari 1000 tahun. Sedangkan di Belanda sendiri bunga tersebut baru ada sekitar 400 tahun lalu ketika Carolus Clusius (1526-1609) menanam biji tulip di Leiden. Saat itulah sejarah tulip Eropa dimulai dan terus dikembangkan hingga dewasa ini. Adapun di Turki, tulip bahkan menjadi nama yang dipilih untuk menandai salah satu periode sejarah Khilafah Utsmaniyah.
Tahun Tulip (Lale Devri) merupakan masa dimana Dinasti Utsmani mulai melakukan adaptasi dan berbagai perubahan untuk mengorientasikan diri kepada bangsa-bangsa Eropa. Pada awal abad ke-18 tepatnya antara tahun 1718 hingga 1730 kehidupan Turki Utsmani banyak terpengaruh oleh negara Eropa seperti Inggris dan Perancis, terutama dalam bidang kesenian, teknologi, dan ekonomi. Hal itu tak lepas dari pengaruh Sultan Ahmed III (1673-1736) yang memegang tampuk kekuasaan saat itu dan grand wazirnya yang tersohor, Nevserhili Damat Ibrahim Pasha (1662-1730). Pria kelahiran Nevsehir itu memang terkenal cerdas dan piawai. Dia juga lah yang memiliki pengaruh cukup besar dalam perubahan orientasi Utsmani pada era tulip ini.
Ibrahim Pasha yakin bahwa tentara Utsmani harus mulai dilatih dengan cara Barat. Tak heran dia turut mendukung inisiatif perdamaian antara khilafah dan negeri-negeri Eropa Kristen. Ketertarikan dan kedekatan Sultan Ahmed III kepada Barat ditandai dengan gencarnya langkah diplomatik yang dilakukan Sultan pasca kekalahan Utsmani. Dibawah kepemimpinan Grand Wazir Ibrahim, rezim Ahmed III menjalankan kebijakan perdamaian dengan Barat. Hubungan diplomasi pun mulai diperluas dan delegasi Eropa di Istanbul mulai diizinkan untuk lebih bebas berhubungan dengan masyarakat Utsmani.
Singkatnya, periode Tulip merupakan masa saat Utsmani mulai menjadikan Barat sebagai inspirasi. Istilah tersebut diberikan oleh sejarawan Turki abad ke-20, Ahmet Refik (1881-1937) karena popularitas bunga tulip pada saat itu sedang berada di puncaknya. Meskipun pada abad ke-15 tulip sudah digunakan Sultan Sulaiman 1 (1494-1566) sebagai simbol umum tentang keanggunan dan kebangsawanan, budidaya tulip belum banyak dilakukan. Barulah pada masa Sultan Ahmed III tren budidaya bunga tulip kembali dihidupkan. Bahkan, saat itu Sultan memberlakukan larangan kepada rakyat Istanbul untuk menjual bunga tulip keluar kota. Dia juga senang memberikan bunga tulip sebagai cendera mata kepada duta dan bangsawan asing yang berkunjung ke istanannya.
Kegemaran Sultan Ahmed III terhadap bunga dan taman mulai meningkat pasca kegagalan Utsmani dalam menaklukkan Vienna. Kekhalifahan dipaksa menandatangani Perjanjian Karlowitz (1699) yang membuat para ghazi harus angkat kaki dan menyerahkan sebagian besar wilayah Balkan kepada Eropa. Istanbul pun peralahan-lahan mulai melupakan perang dan penaklukan. Istana lebih menyukai pesta kebun dan perdamaian. Sultan lebih memfokuskan diri pada hiburan. Masyarakat lebih cinta kepada tulip dibanding berperang seperti para pendahulu mereka. Kelesuan dan kelemahan yang melanda Utsmani itu sebenarnya sudah dimulai semenjak era Sultan Sulaiman I al-Qanuni (1520-1566) berakhir.
Periode akhir abad ke-16 sampai akhir abad ke-17, tampuk kekuasaan lebih sering dipegang oleh para sultan dan perdana menteri yang lemah serta tidak cakap dalam mewarisi kebesaran Utsmani sebelumnya. Oleh sebab itu terjadilah sebuah periode yang stagnan dimana Utsmani tidak lagi mengembangkan dan memperbaharui sistem-sistem negaranya. Hal ini dikarenakan beberapa sebab, yang sebagian besar merupakan faktor internal pemerintahan kesultanan itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal yang paling berpengaruh adalah karena semakin intensnya penetrasi-penetrasi Eropa ke wilayah Turki Utsmani, sehingga mereka selalu disibukkan dengan perang yang berkepanjangan.
Sepanjang Era Tulip, adopsi teknologi, ilmu pengetahuan, dan konstruksi bangunan memang banyak dilakukan seiring dengan hubungan diplomasi yang dirajut. Mulai dari jam, tekstil, mesin cetak, hingga bangunan fasilitas publik bergaya Eropa mulai menjamur bak tulip yang bermekaran di sepanjang taman kota. Namun, kemajuan itu masih menyisakan luka yang kelak akan ‘membunuh’ Dinasti Utsmani. Bagaimanapun, para penjajah kafir masih menginginkan lenyapnya kekuasaan Islam di muka bumi. Situasi damai dan tenteram yang diupayakan Sultan Ahmed III nyatanya tak berlangsung lama. Utsmani terus mendapat serangan dari musuh-musuh Islam, baik kafir Barat maupun Kerajaan Safawiyah Syi’ah (Iran). Seperti kelopak bunga tulip yang belum mekar, warna indahnya membungkus kerapuhan serbuk sari bunga yang gugur dan bertebangan saat angin menerpa.
Ketika gempuran militer dari Barat dan Timur sudah tak terbendung lagi, pada saat yang sama terjadilah pemberontakan yang dipimpin oleh seorang pelaut Albania, Patrona Halil. Kekuasaan berhasil digulingkan dan diambil alih. Sultan dipaksa turun tahta dan bersama keluarganya dijadikan tahanan rumah. Ibrahim Pasha ditemukan tergeletak tak bernyawa sebab dialah target utama pemberontakan. Tongkat kepemimpinan lantas dipegang oleh Mahmud I (1696-1754) yang masa akhir pemerintahannya banyak didominasi perang dengan Syi’ah dan Rusia. Mahmud I sendiri, sibuk menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menyusun puisi dan mempercayakan pemerintahan kepada wazirnya.
Begitulah periode Tulip kemudian dicabut dari tangkainya. Keindahan yang disemai Sultan Ahmad III dengan mencontoh Barat, pada akhirnya Barat pula yang turut menghancurkannya. Perjuangan kaum muslimin untuk memperjuangan kalimat tauhid laa ilaaha illallah terus mendapat halangan dari orang-orang kafir. Kebencian mereka dengan tegaknya agama Allah di muka bumi dibuktikan dengan runtuhnya Khilafah Utsmaniyah dan terjajahnya wilayah kaum muslimin hingga hari ini. Namun, meski musuh-musuh Islam terus mencabut bunga yang bermekaran, mereka tak akan mampu menghadang datangnya musim semi.
Allahumma a’izzal islaama wal muslimin. Allahummanshuril mujaahidiina ‘ala a’daainaa a’daaddin. Bi rahmatika yaa arhamar raahimiin. Ya Allah muliakanlah Islam dan kaum Muslimin. Ya Allah, menangkanlah kaum Mujahidin atas musuh kami musuh agama-Mu dengan Rahmat-Mu, Wahai Yang Maha Pengasih. Wallahu a’lam bish shawwab
Oleh Satrio K